Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di
Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa
sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif
lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. "Kegemilangan"
kebudayaan Sunda di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan
Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam
memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda. Dalam perkembangannya kebudayaan
Sunda kini seperti sedang kehilangan ruhnya kemampuan beradaptasi, kemampuan
mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi.
Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai
tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan
memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan
Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan
dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak
unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh
paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas orang Sunda tampak semakin jarang
digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih
memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari
terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak
mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada orang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya
sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada
mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk
sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di
bidang bahasa Sunda.
Adanya kondisi yang menunjukkan
lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda disebabkan karena
ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya
tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas
Sunda. Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam
mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan
bersama" yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip
keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas
kebudayaan Sunda. Apalagi jika kita menengok sekarang ini kebudayaan Sunda
dihadapkan pada pengaruh budaya luar. Jika kita tidak pandai- pandai dalam
memanajemen masuknya budaya luar maka kebudayaan Sunda ini lama kelamaan akan
luntur bersama waktu.
Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial
untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan
kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh,
berbagai makanan tradisional yang dimiliki orang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi,
colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu,
apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih
bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas.
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi
penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya
baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada
komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya
budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah
minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang
ditulis oleh orang Sunda.
MASALAH SOSIAL DALAM MASYARAKAT SUKU SUNDA